Langsung ke konten utama

Konsep Gender




    Konsep Gender
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1969) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada penafsiran yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Dalam ilmu sosial orang sangat berjasa dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender ini adalah Ann Oaklay (1972). Sebagaimana Stoller, atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia.[1] Selanjutnya, Harding menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perspektif terpisah dan perbedaan hearki sosial yang mempengaruhi apa yang dilihat dan dikomunikasikan karena perempuan dan minoritas lainnya mempersepsikan dunia secara berbeda dari kelompok yang berkuasa yaitu laki-laki.
Jalan yang menjadikan kita maskulin  atau feminim adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan  interprestasi biologis oleh kultur kita. Gender mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga,  seksualitas, tanggung jawab keluarga, dan sebagainya (Mosse, 2007: 2). Menjernihkan perbedaan antara seks dan gender, yang menjadi  masalah adalah adanya kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Gender merupakan konstruksi sosial sering  dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan oleh masyarakat. Perbedaan gender telah melahirkan berbagai  ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu.

1.      Gender dan Marginalisasi Perempuan
Sesungguhnya, timbulnya kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dan Negara merupakan sebagai akibat dari marginalisasi yang menimpa kaum laki-laki ataupun kaum perempuan.[2] Marginalisasi terhadap perempuan ataupun laki-laki sudah terjadi sejak dalam  rumah tangga dengan bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan.
Salah satu contoh marginalisasi perempuan dalam permainan tradisional pondok-pondok adalah anak perempuan lebih diarahkan pada pemilihan peran domestik seperti memasak dan merawat anak sedangkan anak laki-laki diarahkan pada pemilihan peran pada ranah publik seperti bekerja, dan menjadi seorang pembeli atau  menjadi kepala rumah tangga. 
2) Gender dan Subordinasi
Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk subordinasi gender yang dimaksud.[3]


[1] Kantor Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Women Support II/CIDA, gender dan pembangunan, 2001, halm. 15.
[2] Rian Nugroho, Gender dan Strategi Pengarusutamaan di Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 10.
[3] Ibid., h. 11.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Sistem Sosial

Teori system sosial menjelaskan tentang dinamika oganisasi dalam istilah-istilah dari jaringan sosial- hubungan dan interaksi orang didalam dan diuar organisasi. Blau dan Scott (1962) mengenalkan dua prinsip dasar yang membantu mendefinisikan sistem sosial. Salah satunya adalah susunan hubungan-hubungan sosial, atau pola-pola dari interaksi-interaksi sosial didalam sistem sosial.. Yang lain adalah budaya, atau nilai-nilai kebersamaan dari orang-orang di dalam sistem sosial. Hal ini berguna untuk mengingat bahwa susunan hubungan sosial dan budaya dari organisasi dapat dilihat secara formal, informal atau holistik. Struktur sosial ditentukan oleh jenis interaksi sosial, antara orang dengan berbagai status dalam organisasi. Tindakan Sosial mengacu pada jenis dan tingkat interaksi di antara mereka dalam sebuah organisasi, apakah mereka lebih tinggi, rendah, atau berorientasi pada teman sebaya. Misalnya, penting untuk dicatat bagaimana-sering dan panjangnya orang bercakap-cakap satu de

Teori Struktural Fungsional

Struktural Fungsional Teori fungsional memiliki asumsi utama, yaitu melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat subsistem, keseluruhan subsistem tersebut memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Menurut aliran struktural fungsional (parson), bahwa pranata-pranata utama dalam setiap kebudayaan hubungan satu dengan yang lain dan memiliki fungsi khusus dalam hubungan satu dengan yang lain .   Setiap pranata (termasuk sistem kekuasaan) penting untuk berfungsi secara normal dimana kebudayaan pranata itu berada   untuk melanjutkan eksistensisnya. Talcott parson dan edwar A shils mengatakan yang dimaksud dengan sistem sosial dapat digambarkan sebagai   “a system of interactive relationship of a plurality of individual actors” sementara itu Hugo F. Reading mentakan bahwa sistem sosial biasanya digambarkan sebagagai “a system if social elements” . Sedangkan Thomas Fourd Hold mengatakan bahwa sistem sosial adalah “the totality of relationship of involved indiv

Analisis Cinta Menurut Teori Sosiologi

Kerangka Konsep Sosiologi untuk Membingkai Cinta Sosiologi merupakan ilmu yang mengkaji masyarakat, baik meliputi proses sosial, nilai dan norma sosial, kelompok sosial, dan lain sebagainya yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat menjalain hubungan timbal balik individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok yang bersifat asosiatif maupun disosiatif. Konsep asosiatif mengarah pada proses penyatuan individu dan kelompok dalam suatu masyarakat yang satukan oleh perasaan afeksi (kasih sayang), afeksi dapat juga diartikan sebagai kategori cinta. Namun cinta tidak bisa dikatakan sebagai kasih sayang, buktinya ucapan cinta kadang membuat sakit hati dan saling membenci. Cinta dalam makna normatif berarti ungkapan kasih sayang dari seseorang diwujudkan dalam bentuk afeksi dan proteksi. Pewujudan afeksi sudah jelas bentuknya berupa kasih sayang, namun perwujudan proteksi yang diartikan melindungi kadang disalahlakukan sebagai koersif a